ketika perkataan iman
tak lebih dari slogan
seruan hampa
tanpa kuasa
teriakan keras
tanpa ada rasa
ritual buatan yang membosankan
tidak ada lagi keintiman
/
Tujuan dari segala adalah kepuasan
buah pikiran hebat dari pemikiran
tidak lebih dari ekspresi egois
manusia biasa yang mencoba realistis
terlupa perkara surgawi,
yang entah terlalu jauh
karena terpapar yang duniawi
yang nampak selalu
Ah bukannya semua berlaku demikian?
Ah bukannya mayoritas ingin mencari keuntungan?
Mengeluarkan telunjuk karena
ingin menyembunyikan tanduk
Menunjuk sembarang
demi kebutuhan sekarang
Melempar-lempar menyalahkan
berharap ada persetujuan
Ketika kala itu datang
Keterbatasan menerjang
Sungguh sempurna untuk melipat tangan
Mengucap kalimat permintaan
Semrawutnya motivasi
disambut praktisnya komunikasi
“Dia hanya sejauh DOA”
menjadi karcis untuk bersua
Menawarkan segudang pinta
pada oknum adikuasa yang piawai menjawab doa
//
Apalah arti puisi ini?
Hanya kata-kata yang sengaja dibuat berima.
Apalah arti mendengarkan suaraNya?
Menunggu lama hanya untuk sebait rema.
Kulihat mata orang itu
Penuh kekosongan pilu.
Karena kegagalan beruntun,
Terkena pukulan yang jitu
Tampaknya kekuatannya terlalu besar
Pengetahuannya terlalu luas
Tapi ada yang lebih besar lagi;
kesombongannya untuk mau
tunduk pada Sang Adikodrati
“Pencipta dari segala,
penebus dari dosa.”
Informasi umum yang diantar
Berita klise dari atas mimbar
Siapa yang salah?
Kenapa bisa demikian?
Siapa yang berulah?
Kok bisa terjadi beginian?
Entah ikut-ikutan
Entah terbawa perasaan
Entah karena pemikiran
Entah kurangnya kedisplinan
Kenapa beralih menjadi siapa
Siapa menjadi bagaimana
Bagaimana berganti kapan
Dan, Tak tahu berlanjut sampai kapan
Berputar-putar terus di tempat
Katanya sih di padang gurun
Membawa kutipan; mereka yang adalah umat,
40 tahun berjalan di gurun
Peduli amat dengan cerita si umat
Hati terlalu keras untuk nasihat
Layaknya besi, jangan diberi garam hai jemaat,
Nanti bereaksi dan malah menjadi karat
Jangan samakan dengan ikan,
Jangan coba cegah pembusukan!
///
Manusiawi kah untuk merasa sedih?
Normal kah untuk mengalami jatuh?
Rohani kah untuk terus mengkoreksi?
Berhikmat kah untuk terus mengkritisi?
Bagaimana kalau diam, dan mendengarkan?
Bagaimana kalau coba mengerti, lalu mendoakan?
Bisa tolong tunjukkan “kasih tanpa syarat” dipraktikan?
Bagaimana kalau memanusiakan kasih; mengasihi manusia?
Sepertinya kurang indah waktunya, untuk:
Saran dan argumen jenius
Kritik dan intimidasi kudus
Segala kepintaran & kesombongan
Apologetika atau apalagi lah itu ya
////
Hey, Tuhan memberkati
[] SHS 2014
wuaaaahh :”D bg senang banget baca postingannya.. membangun buat lebih nulis dan spreading the words nih bg… blog kak sandra juga :” waahh.. seneng banget entah kenapa, stalking blog kalian bg.. hehe.. God bless u bg mercifuly :~
SukaDisukai oleh 1 orang
iya ndre makasih ya udah mampir
aku juga ud mampir ke blog mu 🙂
semangat terus ya menulis 🙂
SukaSuka